Oleh Sukadi (Humas : Kotasejuk)
Kerajaan Mataram dimulai dengan munculnya sebuah dinasti baru di pulau Jawa yang menamakan dirinya Wangśa Śailendra. Wangśa Śailendra ini membangun pemerintahannya secara turun-temurun di wilayah Jawa Tengah. Kejayaan wangsa Śailendra sayangnya tidak dapat bertahan seiring berbagai hal internal maupun eksternal yang terjadi dalam pemerintahannya.
Kerajaan Mataram di Jawa Tengah yang diperintah turun-temurun oleh wangśa Śailendra akhirnya secara berangsur-angsur mengalami perpindahan ke Jawa Timur.
Pendapat yang paling populer mengenai perpindahan ini adalah karena adanya bencana besar dari Gunung Merapi dan bahaya laten dari Wangśa Śailendra dari Kerajaan Sriwijaya kepada Wangśa Śailendra di Jawa.
Bencana besar ini dianggap sebagai pralaya atau kehancuran dunia. Masyarakat Mataram Kuna yang selamat berbondong-bondong menyelamatkan diri ke arah timur. Pengungsian ini menuju wilayah Kanuruhan di Jawa timur yang kemudian menjadi tempat Pu Sindok membangun ibu kota baru yaitu di wilayah Tamwlang pada tahun 929 Masehi.
Sebelum mencapai tempat penyelamatan yang dituju, Pu Sindok yang masih menjabat Mahamantri bersama sisa prajurit Mataram Kuno mendapat perlawanan dari prajurit Sriwijaya di Kakatikan Anjukladang. Peperangan dimenangkan oleh pihak Pu Sindok yang dibantu rakyat sipil Kakatikan Anjukladang yang dipimpin oleh Samgat Pu Anjukladang.
Perpindahan pusat kekuasaan Matarām Kuna ke Jawa Timur juga membawa perubahan pada nama wangsa yang dipakai oleh keturunan Matarām.
Sejak terjadinya perpindahan ke timur dan pembangunan ibukota kerajaan baru terdengarlah istilah wangsa Iśāna.
Berdasarkan sumber prasasti diketahui bahwa terjadi perpindahan ibukota kerajaan Matarām dari yang awalnya di Tamwlang menjadi di Watugaluh seperti yang disebutkan dalam prasasti Añjukladang dan Paradah.
Tercatat 8 tahun setelah Pu Sindok menjadi Raja Mataram Medang di Jawa Timur, memerintahkan dua pejabat kerajaan, bernama Rakai Hino Pu Sahasra dan Rakai Wka Pu Baliswara yang diturunkan kepada Kanuruhan Pu Da untuk diterima oleh Sang Pamegat Pu Anjukladang, yaitu seorang pejabat yang ahli di bidang hukum di Kakatikan Anjukladang.
Tujuannya untuk memberi anugerah tanah perdikan atau sima swatantra, bebas dari kwajiban membayar pajak atas jasa penduduk Kakatikan Anjukladang membantu mengalahkan musuh kerajaan dari Sriwijaya.
Tidak terbayangkan, manakala peperangan antara prajurit Sriwijaya melawan prajurit Pu Sindok yang dibantu oleh rakyat sipil kakatikan Anjukladang terjadi kekalahan di pihak Mataram Medang, tentu tidak ada wangsa Isana, Kahuripan, Kadiri, Singasari, Majapahit, dan seterusnya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Kakatikan Anjukladang memiliki Historiografi sebagai penyambung wangsa Mataram Medang.
Tepat tanggal 10 April 937 Masehi, dilaksanakan upacara penetapan sima Anjukladang yang disebut Manusuk Sima di Sang Hyang Prasada Kabaktyan i Jayamerta atau tempat pemujaan di Candi Jayamerta atau sekarang dikenal dengan nama Candilor.
Manusuk Sima Anjukladang ditandai dengan sebuah batu prasasti sebagai tugu kemenangan perang dan pembacaan sapatha atau kutukan yang ditujukan kepada siapa saja melanggar sumpah yang telah ditetapkan dalam isi prasasti Anjukladang.
Sapatha atau kutukan ini berlaku untuk selama-lamanya hingga akhir jaman. Kemudian tugu kemenangan ini disebut Jayastambha, “Jaya” yang berarti kemenangan, dan “stambha” berarti tugu.
Dari Prasasti Anjukladang muncul kata “anjuk” dari nama “anjukladang”. Kemudian dalam penyebutan sering terucap “anjuk” menjadi “nganjuk” setelah mengalami nasalisasi “ng” di depan kata “anjuk”. Dari kata “anjuk” menjadi “nganjuk” ini kemudian ditetapkan sebagai cikal bakal nama Nganjuk, yang kemudian diperingati sebagai Hari Jadi Nganjuk, setiap tanggal 10 April. (*)
JALANNYA MANUSUK SIMA:
Bertepatan tanggal 10, bulan april, tahun 937 masehi, ada sebuah perayaan besar-besaran di wilayah kakatikan Anjukladang. Perayaan disebut Manusuk Sima atau upacara penetapan tanah perdikan. Penetapan tanah perdikan anugerah dari Raja Mataram Medang Pu Sindok kepada rakyat Kakatikan Anjukladang. Alasannya, rakyat Kakatikan berhasil membantu prajurit mataram Medang mengalahkan prajurit Sriwijaya.
Berikut tampak iring-iringan prajurit mataram Medang, para kepala desa sekitar, bersama penduduk Kakatikan Anjukladang berjalan menuju bangsal witana di Candi Sri Jayamerta atau Candilor.
Arak-arakan dipimpin oleh Makudur atau pemimpin upacara membawa dupa didampingi Widhihti, pembantu makudur berjalan perlahan. Diikuti Pu Sindok dan 2 istrinya, dua Mahamantri Pu Sahasra dan Baliswara, Kanuruhan Pu Da, Samgat Anjukladang didampingi mpu Mahaguru dan mpu Ghoksanda.
Menyusul para prajurit Medang, Jatu Ireng, Susuhan, Sahitya, Kunda, Buyut Manggali, Madhura Lokaranjana, kemudian prajurit Anjukladang (Samgat Pikatan Pu Saduya, Pu Bingu (Bingung), Pulung (pengumpul) Watu Pu Kikas, Juru Siki Pu Bawluamr, Pu Manak, Pu Wayang, Manghuri Pu Saduya, Pu Kuba Hawas Kuyangkala, Pu Babra Anjusanda, Pu Dula, Wadihati Pu Dinakara, Akudur Pu Dwaja, Juru Wadwa Raka i Sumbun, Citralekha (Penulis Prasasti) Walu Pu Dengha, Parujar (Juru Bicara) i Hino Kandamuhi, Dang Acaryya Jale i Wka Biriwih, Dang Acaryya Nanaya i Sirikan, Madander Dang Acaryya Prdu i Bawang, Sang Citralekha Sri Maharaja Trawaruk).
Keterangan : Penulis (Sukadi) adalah peneliti sejarah Nganjuk , Humas KOTASEJUK / Komunitas Pecinta Sejarah dan Ekologi Nganjuk, Guru dan Wartawan Sejarah (Nganjuk TV).