Opini oleh Dr. Wahju Prijo Djatmiko. S.H., M.Hum., M.Sc. GDipl.IfSc., S.S.
Menjadi kepala daerah (Kada), misalnya: bupati/walikota/gubernur “zaman now” sangat berbeda dengan pada era tahun 1970-2000 an. Seorang Kada saat ini tidak hanya menggunakan otoritas (power) yang dimiliki, tetapi juga menggunakan pengaruhnya untuk menggerakkan bawahannya dan orang lain yang dipimpinnya. Sebagai seorang pemimpin, dalam menjalankan perannya, ia akan berhadapan dengan segala macam karakter, perilaku dan tingkat kematangan kepribadian bawahan dan kelompok masyarakat yang dilayaninya.
Pada era globalisasi ini, model kepemimpinan yang melayani barangkali menjadi alternatif yang diidamkan oleh masyarakat luas tak terkecuali bagi masyarakat Kabupaten Nganjuk.
Adalah Robert Greenleaf (1904-1990), yang pertama kali mencetuskan pola kepemimpinan yang mengabdi, melayani mereka yang dipimpin atau secara luas dikenal dengan istilah servant leadership. Model kepemimpinan yang melayani ini merupakan suatu tipe
kepemimpinan yang mempunyai kecenderungan lebih mengutamakan kebutuhan, kepentingan dan aspirasi orang-orang yang dipimpinnya di atas kepentingan diri, keluarga dan kelompoknya. Orientasinya adalah semangat melayani, cara pandangnya holistik dan beroperasi pada layer moral spiritual.
Seorang servant leader adalah seseorang yang memiliki naluri kuat untuk melayani, mengabdi yang senantiasa meletakan seluruh potensi yang ada pada dirinya serta kekuasaan yang disandangnya demi “ke -dia/mereka- an bukan untuk kepentingan “ke-aku-annya”.
Secara teoritik ada beberapa karakteristik yang bisa diamati/dirasakan dari pola kepemimpinan yang melayani ini. Ciri-ciri tersebut antara lain adalah adanya kemauan untuk sudi mendengarkan apa yang dimaui oleh mereka yang dipimpinnya. Ia adalah pendengar yang baik. Ia tak segan-segan turun berbaur dengan masyarakat guna menangkap apa yang sejatinya diharapkan masyarakat luas dan bawahannya. Ia juga menaruh empathy yang tinggi pada mereka yang dipimpinnya. Sehingga tak ayal lagi,
akibat beranekaragamnya kelompok sosial yang ia layani menjadikan dirinya harus memahami setiap „social setting‟ yang ada pada masyarakat. Karakteristik yang lain dari servant leadership adalah dimilikinya kemapuan persuasif dan kejeliannya untuk tidak
memilih kebijakan yang bisa merugikan kepentingan umum serta pribadinya yang terbuka yang bisa „menerima‟ apapun „warna‟ masyarakat yang dilayaninya.
Sebagai sebuah filosofi kepemimpinan kekinian, servant leadership mengutamakan pemenuhan kebutuhan masyarakat luas, tentunya dalam perspektif Kada ini berkaitan dengan persoalan APBD. Pastinya, ia akan mendorong dan menjaga bahwa APBD senantiasa akan pro rakyat ( pro masyarakat). Filosofi ini berlandaskan pada gagasan bahwa Kada senantiasa melayani masyarakatnya dengan menempatkan APBD sebagai milik masyarakat. Ia menempatkan kebutuhan publik sebagai prioritas utama yang wajib terpenuhi, dan berusaha menciptakan lingkungan yang memungkinkan setiap orang berkembang pesat sesuai kodratnya. Ia tidak termotivasi oleh kekuasaan atau status, sebaliknya, dirinya selalu berupaya untuk membuat kondisi positif dalam kehidupan orang lain.
Pemimpin yang melayani memimpin dengan keteladanan. Ia menjalani nilai-nilai yang ingin mereka lihat pada bawahan dan masyarakatnya. Ia selalu tunjukkan integritas, kerendahan hati, dan komitmen yang kuat terhadap tujuan bersama. Ia senantiasa terbuka terhadap umpan balik dan bersedia untuk belajar dari orang lain.
Dalam catatan penulis, Kabupaten Nganjuk pernah memiliki model kepemimpinan ini, yakni ketika Kabupaten Anjuk Ladang ini dipimpin oleh Dr, Marhaen Jumadi.