Nganjuk – Ketua Komunitas Pecinta Sejarah dan Ekologi Nganjuk (Kotasejuk), Amin Fuadi, menegaskan pentingnya membedakan antara Hari Jadi Nganjuk dengan Hari Jadi Kabupaten Nganjuk. Menurutnya, kekeliruan dalam memahami sejarah ini kerap terjadi karena minimnya literasi terhadap dokumen-dokumen sejarah otentik.
"Hari Jadi Nganjuk merujuk pada peristiwa yang tertuang dalam Prasasti Anjuk Ladang (jayastamba), yang terjadi pada era Pu Sindok di Kerajaan Mataram Medang sekitar 1088 tahun lalu. Sementara itu, Kabupaten Nganjuk baru terbentuk pada masa kolonial Belanda," jelas Amin Fuadi.
Ia menjelaskan, dalam catatan sejarah, pada era kolonial mulai dikenal nama-nama seperti Kadipaten Pace, Kertosono, Nganjuk, Berbek, dan Godean. Dalam rangka efisiensi administrasi, pemerintah Hindia Belanda merangkum wilayah tersebut ke dalam Kadipaten Berbek dengan ibu kota di Berbek.
Memasuki era Revolusi Industri, sekitar tahun 1870-an, Belanda mulai membangun jaringan rel kereta api di wilayah Jawa. Demi kepentingan akses transportasi, ibu kota kadipaten dipindah dari Berbek ke Nganjuk pada 6 Juni 1880.
Perubahan administratif selanjutnya terjadi pada 1 Januari 1929, ketika Kadipaten Berbek secara resmi diubah menjadi Kabupaten (Regenschap) Nganjuk dengan ibu kota tetap di Nganjuk. Maka dari itu, menurut Amin, ada perbedaan mendasar dari sisi waktu, konteks, dan latar belakang sejarah antara Hari Jadi Nganjuk dan Hari Jadi Kabupaten Nganjuk.
Lebih lanjut, Amin menuturkan bahwa prosesi manusuk sima yang saat ini menjadi bagian dari peringatan sejarah Nganjuk adalah hasil inisiasi Kotasejuk. "Inisiatif ini kami lakukan bersama Dinas Arsip dan Perpustakaan serta Dinas Porabudpar. Kami menunjukkan bukti-bukti sejarah, termasuk isi prasasti Anjukladang, sejarah boyong pemerintahan, serta terbentuknya Kabupaten dan Dewan Kabupaten Nganjuk," ungkapnya.
Upaya tersebut kemudian mendorong dibentuknya Tim Penelusuran dan Penulisan Sejarah Nganjuk melalui SK Bupati. Hasil kerja tim ini melahirkan buku sejarah Nganjuk yang memuat perkembangan wilayah tersebut sejak era prasejarah hingga masa kolonial. Buku ini telah dikaji oleh berbagai pihak, diseminarkan, dan dinyatakan layak sebagai sumber sejarah resmi Kabupaten Nganjuk.
Salah satu bagian penting dari buku tersebut adalah kajian atas Prasasti Anjukladang yang menyebut nama tokoh Samgat Pu Anjuk Ladang sebagai figur utama yang wilayahnya dianugerahi status sima swatantra, yakni pembebasan dari kewajiban membayar pajak. Penetapan status ini ditandai dengan sebuah upacara yang disebut manusuk sima.
"Pengaruh nasalisasi dari sebutan 'Anjuk Ladang' menjadi 'Nganjuk' adalah proses panjang yang tak lepas dari kebiasaan pengucapan masyarakat Jawa," tambah Amin.
Dengan demikian, Amin Fuadi menegaskan bahwa Kotasejuk merupakan inisiator utama dalam menghidupkan kembali jejak sejarah Nganjuk, termasuk tradisi manusuk sima yang kini diakomodasi oleh Pemerintah Kabupaten Nganjuk. (red)